Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi hutan, hanya 11% dari hutan primer yang tidak dibalak pada areal yang dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Sebaliknya, di kawasan yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan "yang dibalak secara sedang" (80% dibalak lebih dulu sebelum kebakaran), 84 % hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih hebat (Schindler dkk, 1989). Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar 9 miliar dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilangnya tegakan pohon (Hess, 1994).
Pembakaran skala besar menghasilkan kabut segala penjuru. Pembakaran lahan-lahan padang di seluruh Sumatera dan rumput dan semak belukar secara sengaja di Kalimantan selama setiap musim kemarau menyebabkan api merembet masuk ke perbatasan. Umumnya kabut lenyap pada bulan September karena hujan lebat memadamkan kebakaran. Kabut akibat kebakaran ini mencapai berbagai jenis tata guna lahan yang berbeda di Malaysia dan Singapura pada bulan Juli. Kualitas udara secara dramatis menjadi memburuk pada bulan September, memicu berbagai keluhan
Mengapa Masyarakat Lebih Memilih Melakukan Pembakaran?
Pembukaan lahan dengan menggunakan cara membakar yang tidak terkendali dan merusak erat kaitannya dengan pembangunan industri perkebunan di Indonesia karena empat alasan pokok berikut ini:
• Kebakaran menurunkan kualitas lahan hutan dan dengan demikian mendukung usaha untuk memiliki kawasan hutan permanen (seperti hutan produksi) secara legal untuk diklasifikasikan kembali sebagai kawasan-kawasan hutan yang tersedia untuk konversi bagi perkebunan. Dengan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang tidak diklasifikasikan sebagai hutan dan yang cocok untuk pembangunan perkebunan, membakar hutan kemudian menjadi suatu cara yang bermanfaat untuk meningkatkan persediaan lahan yang ada.
• Di kawasan yang telah dialokasikan untuk pembangunan perkebunan, membakar hutan adalah suatu cara yang hemat biaya untuk membuka lahan. Menurut salah satu perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Tengah, pembukaan lahan dengan alat-alat mekanis membutuhkan biaya yang dua kali lipat lebih mahal daripada melakukan pembakaran.
• Hasil perkebunan harus diolah dalam 24 jam setelah dipanen, sehingga banyak perusahaan lebih senang jika lokasi perkebunan letaknya sedekat mungkin dengan fasilitas pengolahan dan jalur-jalur transportasi yang dapat membawa hasil panennya ke berbagai fasilitas ini. Namun, kawasan-kawasan seperti ini yang lebih mudah diakses umumnya telah padat dan diolah oleh penduduk lokal. Perusahaan-perusahaan kemudian menyewa tenaga kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasi, dan dengan demikian perusahaan akan lebih mudah dapat mengambil alih lahan dengan melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli.
• Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.
Info lebih lengkap silahkan download e-book mengenai kebakaran hutan yang dirilis oleh IndoForest di sini.
0 komentar:
Post a Comment