Pemakaian etanol lebih ramah lingkungan. Etanol memiliki angka oktan 117 atau lebih tinggi dibanding premium yang hanya 87-88. Oleh karena itu, etanol bisa menggantikan peran Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) yang mengandung timbal. Penggunaan etanol murni akan menghasilkan CO2 13% lebih rendah dibanding premium. Selain itu, emisi CO dan UHC pada pemakaian etanol juga lebih sedikit dari premium. Etanol yang berasal dari tebu dalam beberapa hal lebih prospektif dibanding tanaman lain. Data Lamlet (Latin America Thematic Network on Bioenergy) menunjukkan biaya produksi etanol paling murah. Untuk setiap m3 etanol yang dihasilkan dari tebu diperlukan biaya $160. Bandingkan dengan sumber lain. Dari jagung, misalnya, untuk jumlah yang sama perlu $ 250-420, dari gandum $ 380480, dari kentang $ 800-900, dari singkong $ 700, dan dari gula bit $300-400. Produksi etanol asal tebu butuh energi relatif sedikit. Rasio output/input energi etanol dari tebu sekitar 2,5.9,0. Sementara dari jagung 1,3, sorgum manis Etanol dari Tebu 2,5-5,0, dan gula bit 1,76. Selain itu, reduksi emisi CO2 dalam hal pemakaian etanol asal tebu sebagai substitusi premium mencapai 50-90%. Untuk etanol dari jagung hanya 20-40% dan gula bit 30-50%.
Etanol dari tebu bukan hanya bisa diperoleh dari tetes tetapi juga bisa berasal dari ampas (bagasse) dan daun. Ini sekaligus untuk menepis kritik soal etika berkaitan persaingan penggunaan sumber pangan dan energi. Pengunaan bahanbahan yang bisa langsung dikonversi menjadi etanol seperti tetes, jagung, singkong, gandum, dan umbi-umbian sejauh ini menuai banyak kritik karena akan menurunkan suplai bahan pangan. Nah, kalau kembali ke tebu, maka hal tersebut bisa dihindari. Ampas (32% tebu) dan trash (14% tebu) merupakan senyawa lignoselulosa. Lignoselulosa dipecah menjadi selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa diuraikan menjadi glukosa terus menjadi etanol. Selulosa didegradasi menjadi silosa yang bisa diubah lebih lanjut menjadi silitol (silitol merupakan pemanis alternatif yang baik bagi kesehatan karena berkalori rendah dan tidak merusak gigi). Dengan cara ini, produksi etanol per ha tebu akan meningkat 2-3 kali lipat. Bila hanya mengandalkan tetes, produksi etanol per ha tebu kira-kira 1.200 liter. Dengan konversi ampas dan trash akan dihasilkan lebih dari 2.500 liter etanol per ha.
Kondisi saat ini memang belum memungkinkan konversi ampas dan trash ke etanol. Ampas di Pabrik Gula (PG) masih dipakai sebagai bahan bakar pembangkit uap. Kelebihan ampas hanya terjadi di PG yang memiliki efisiensi pengunaan energi tinggi. Bahkan di beberapa wilayah, trash pun dipakai sebagai suplesi ampas untuk bahan bakar. Meskipun bahan baku lignoselulosa relatif murah, namun konversi bahan tersebut menjadi etanol perlu teknologi lebih tinggi. Dalam hal etanol dari tebu, masih ada peluang lain melalui penanaman tebu genjah. Berbeda dengan tebu giling yang dipanen umur 1 tahun, tebu genjah bisa dipanen umur 8 bulan. Artinya, tebu ini dalam 2 tahun bisa dipanen 3 kali. Untuk keperluan pembuatan etanol, tebu genjah tidak perlu menghasilkan sukrosa (gula kristal) tinggi, tetapi yang penting berkadar gula banyak. Gula yang diperlukan untuk fermentasi etanol tidak hanya terbatas sukrosa, tetapi bisa berupa glukosa dan fruktosa. Oleh karena itu, faktor iklim yang selama ini menjadi faktor pembatas budidaya tebu khususnya pada periode penimbunan sukrosa pengaruhnya menjadi tidak dominan. Ini akan menguntungkan karena tebu genjah tidak perlu ditaman pada masa tanam optimal (Mei-Agustus). Hal lain yang menguntungkan, karena target produksi tebu genjah bukan sukrosa tetapi total gula, maka tebu ini kemungkinan bisa ditanam di lahan-lahan kritis dan marjinal. Lahan-lahan seperti ini berserakan jutaan hektar di seantero tanah air. Akan tetapi, bagaimanapun memang akan sangat berat bila kebutuhan etanol ke depan sepenuhnya tergantung kepada tanaman tebu. Bila etanol diproduksi dari tetes, maka guna memenuhi kebutuhan 3,6 milyar liter dibutuhkan area 3 juta ha. Pengembangan area tebu dari 400 ribu ha ke 3 jt ha dalam waktu 3 tahun mustahil dilakukan. Oleh karenanya, pengembangan produksi etanol memerlukan koordinasi dari operator sektor pertanian, industri, energi, perdagangan, transportasi dan BUMN.
0 komentar:
Post a Comment